Review: Why Don’t You Play in Hell. Film Tentang Yakuza Oleh Yakuza.

Ketika minggu lalu saya kehabisan bahan tontonan dan akhirnya memutuskan untuk menonton ulang Game of Thrones season 4, seorang teman merekomendasikan sebuah film. Mengingat si teman ini adalah sepertinya seorang yang cukup pemilih kalau masalah film dan memiliki selera yang mirip dengan saya, insting saya mengatakan kalau film ini layak tonton. Film ini bukan tipe yang biasa seliweran di jaringan bioskop Indonesia, film seperti ini biasanya hanya saya dapatkan online, film ini berjudul Why Don’t You Play in Hell dan disutradarai oleh Sion Sono.

Pernah mendengar nama Sion Sono? Mungkin terdengar asing. Atau mungkin pernah mendengar film Suicide Club? Saya yakin kalau judul film yang baru saja saya sebutkan ini pasti tidak asing. Suicide Club pernah terkenal di tahun 2000an setelah industri perfilman jepang dibanjiri dengan film horror semacam Ringu dan Ju-On. Sang sutradara, Sion Sono, adalah sutradara yang cukup produktif dengan beberapa karya yang patut diperhatikan. Wait, Jepang lagi, Lan? Sebenarnya saya pernah menonton film Perancis, namun gayanya ternyata tidak sesuai dengan selera saya jadi sepertinya Movie Challenge tahun 2015 ini akan dipenuhi dengan film Jepang atau Korea.

Kembali ke topik, Why Don’t You Play In Hell adalah film keluaran tahun 2014 (wide release) menceritakan tentang yakuza yang dibintangi oleh yakuza dengan kru yakuza. Paling tidak begitu menurut trailernya. Namun seperti yang sudah-sudah, jika trailernya terlihat biasa saja atau malah tidak jelas, biasanya filmnya bagus. Maksud saya, buat apa trailer lama-lama sampai 5 menit yang membeberkan seluruh jalan cerita film, lebih baik saya nonton trailer saja daripada harus bayar mahal di bioskop. Dan seperti dugaan, filmnya berhasil membuat saya terbuai dengan jalan cerita yang sungguh di luar dugaan.

Dalam 5 menit pertama terasa sedikit kemiripan dengan karya-karya Tarantino, terutama Kill Bill, ketika pada suatu adegan, seorang anak masuk ke dalam ruangan di rumahnya dan lantainya dibanjiri dengan darah. Sejenak terlihat seperti lantai yang berwarna merah, namun saya sadar bahwa itu darah ketika kaki anak tersebut tidak terlihat. Cengiran saya makin lebar ketika ada seorang ibu-ibu dengan baju berlumuran darah dan memegang pisau dapur, berlari ke kantor polisi untuk menyerahkan diri. Lalu saya mulai melupakan Tarantino dan hanyut dalam film tersebut.

Adalah kelompok yakuza Muto dan Ikegami yang saling berkelahi, dimulai dengan Ikegami-gumi menyerang Muto-gumi yang diakhiri dengan pembantaian oleh istri dari pemimpin Muto-gumi, si ibu-ibu dengan pisau dapur tadi. Di sisi lain ada sekelompok pembuat film amatir bernama Fuck Bombers dengan ketua bernama Hirata yang mempunyai mimpi suatu saat dapat membuat film terhebat sedunia.

Nasib mempertemukan kelompok amatir ini dengan yakuza-yakuza tersebut 10 tahun kemudian, ketika Mitsuko, anak semata wayang ketua Muto-gumi, harus jadi artis demi mewujudkan mimpi ibunya yang dipenjara karena kasus pembantaian itu, yang akan keluar dalam waktu 10 hari lagi. Dengan waktu yang begitu sempit, Hirata memutuskan untuk membuat film tanpa skenario, yang langsung diambil di kediaman Ikegami, tepat ketika Ikegami-gumi menantikan kedatangan Muto-gumi. Selanjutnya yang terjadi adalah pengambilan gambar tentang pertarungan dua kelompok yakuza yang terlihat alami dan tanpa skenario.

Film ini tidak bertele-tele dalam bercerita. Satu jam terakhir bercerita tentang bagaimana film yakuza dibuat, yang hanya mengambil waktu semalaman sebelum akhirnya kediaman Ikegami digerebek oleh polisi. Sangat straightforward dan detail dimana pertarungan Ikegami-gumi dan Muto-gumi dibuat seperti tanpa ada frame yang tertinggal. Efek Inception terasa sekali ketika adegan pengambilan gambar pertarungan yang tadinya berpura-pura, menjadi ajang mandi darah. Hebatnya sang sutradara, Hirata, mengusulkan adegan pertarungan haruslah menggunakan katana demi efek yang terlihat lebih maskulin dibandingkan menggunakan senjata api. Maka yang akan terjadi, terjadi lah, ketika pedang sudah berada di tangan dan musuh ada di depan mata, semuanya bagaikan haus darah dan dirasuki oleh setan.

Saya seperti merasa adanya satire dalam film ini, walaupun sampai sekarang saya tidak dapat menjelaskan referensinya pada apa. Tapi yang saya rasakan, ketika seorang telah terobsesi dengan sesuatu, maka tipis perbedaannya dengan gila, sehingga semua hal dihalalkan untuk mencapai tujuan tersebut. Film ini menurut saya brilian dari sisi cerita juga ditambah dengan teknik editing yang sangat saya suka, dengan adegan klimaks yang berada pas di hampir akhir film. Jelas sekali film ini bukan untuk yang berjantung lemah, namun lupakan tentang limpahan darah itu, menurut saya film ini sangat layak tonton. Sutradara Sion Sono membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama karena daftar film selanjutnya sudah dipastikan adalah Love Exposure, yang disebut-sebut sebagai mahakarya Sion Sono dengan durasi 4 jam. Sepertinya saya harus menyiapkan mental untuk kencan selanjutnya.